Tuesday, January 17, 2012

Marriagable.

Adalah judul novel yang direkomendasikan Citra (teman kosan) untuk gua baca. Marriagable merupakan novel fiksi favoritenya. Dari cara ceritanya Citra beneran tergila-gila sama itu novel, berapi-api dan penuh emosi. Jadi gak salah kalo gua ikutan penasaran sama buku tersebut dan mulai ikutan baca. 

Perlu diketahui sebelumnya kalo genre yang gua suka dalam membaca novel fiksi itu yang ada label Chicklit nya dan yang nulis adalah non Indonesia. Entah kenapa gua ngerasa tertarik aja membaca buku karangan orang luar, walau ceritanya termasuk simple dan pasaran, yakni menceritakan kehidupan seorang perempuan (ada juga yang mengsiahkan laki-laki) yang lagi mengejar karir dan cinta. Basi ya, tetapi jadi suatu hiburan tersendiri saat membayangkan apa yang terjadi di dalam novel dengan latar luar negeri alias negara lain. Disamping gua memang kepengen berat ke New York, London, Roma etc. Dan kebetulan memang novel fiksi buatan orang luar ini biasanya bersetting di tiga kota yang gua sebut barusan.

Karena sangking terbiasa membaca fiksi buatan orang luar tapi saduran atau erjemahan Indonesia. Entah kenapa selalu ada yang gua rasa beda kalo membaca novel ringan karya anak bangsa. Ya, gua paham. Kalo menulis bukanlah hal yang mudah. Membuat sebuah karya dalam bentuk tulisan, novel, itu gak sesimple update status atau menulis diary. Dengan gak bermaksud merendahkan hasil karya anak bangsa, namun selera gua tetep kepada novel fiksi karya penulis luar. 

Well, Marriagable. Sebenernya punya tema yang menarik. Jadi dalam novel ini diceritakan seorang perempuan lajang umur 30an dengan karir menjulang, tipikal anak muda metropolitan yang gemar kongkow-kongkow di cafetaria bareng teman-teman, mengahabiskan uang untuk satu cngkir kopi atau segelas beer sambil ngerokok dan ngomongin hal yang dulu dianggap tabu. Sebagai produk masa kini, si tokoh utama ini merasa kalo yang namanya perjodohan adalah sesuatu yang enggak banget untuk dilakuin di era facebook dan twitter. Tapi masalahnya, dia gak juga dapet-dapet jodoh dan stay virgin sementara orangtua nya menuntut sebalikanya. Walhasil, si tokoh utama ini dijodohin dengan seorang laki-laki yang merupakan anak dari seorang ibu yang mana ibunya ini adalah teman dari ibunya si tokoh utama.

Dengan perasaan menolak perjodohan. Gengsi jinak-jinak merpari ala-ala perempuan. Jual mahal malu-malu tapi mau. Si tokoh utama akhirnya nikah juga sama laki-laki yang dijodhin tadi, tanpa proses babibu yang panjang, dimana pernikahan juga bukan ending dari novel ini. Jadi yang berusaha diceritakan oleh penulisnya dalam novel Marriagable adalah, proses si tokoh utama menyadari kalo sebenernya dia udah sejak awal cinta sama si lelaki yang berusah dia tolak ini. 

Tapi buat gua yang bikin ganggu adalah, bagian dimana si tokoh utama ini menggantungkan segala keputusan hidupnya lewat omongan teman-temannya. Singkatnya, dikit-dikit curhat macem anak baru gede. Padahal gua berharap banget kalo dalam novel ini perasaan si tokoh utama bener-bener di eksplor. Jadi gak bentar-bentar curhat ke temen, misalnya, part dimana dia nolak mati-matian dijodohin dengan segala emosinya dia curhat ke temen-temennya di aharus gimana ngadepinnya. Jelas dengan bijak temen-temennya bakal bilang "tolak dan kabur" atau "coba dulu, siapa tau cocok". Nah, tanpa penggambaran yang jelas cuman diceritain si cewek ibukota ini nolak tapi akhirnya mau aja dinikahin sama itu laki.

Kalo gua sih berharapnya, disamping adegan dia curhat butuh saran itu, sebaiknya ada part yang menceritakan isi hati yang jujur dari tokoh utama ini. Istilahnya, me time. Dimana si tokoh utama ini bengong sendirian sambil mikir, apa yang sebenernya dia rasain terhadap laki-laki yang terpakasa dijodohin sama dia. Kalo memang gak sreg, seenggaknya dia pasti nolak. Kalo memang sreg, ya pastinya dia mau dong dinikahin. Nah kalo di novel ini, si tokoh utama gengsi berat kali ya dinikahin sama laki-laki hasil perjodohan, tapi akhirnya dia mau dinikahin, jadi apa tuh? Yang gua pengen tau itu, natural habinya cewek. Mau sepinter apapun, setinggi apapun jabatannya, semodern apapun hidupnya, cewek kalo udah jatuh cinta bentuknya pasti sama: bego.

Sayangnya dalam novel ini gua gak lihat sisi bego alamiahnya si tokoh utama. Melainkan bego secara harfiah karena sedikit-sedikit curhat ala ABG tadi. Padahal menarik, seorang perempuan modern, pintar, cantik, dan modis ternyata masih single. Karena tuntutan orangtuanya untuk segera menikah maka akhirnya dia dijodohin dengan seorang laki-laki. Awalnya perempuan ini menolak mati-matian karena merasa terhina sebagai cewek super modern tapi mau nikah aja dijodohin. Jadi wajar kalo perempuan ini gengsi berat dan jual mahal.  Layaknya cerita novel romantis, yang laki-laki pasti gak tinggal diam melainkan melakukan manuver-manuver atau usaha-usaha tertentu yang bikin iri siapa aja yang baca. Pastinya ngegemesin banget deh, di balik sikap jual mahal si cewek ternyata diem-diem dia luluh juga sama seranan gerilya ala cowok ini. Gitu, jadi maunya gua tokoh utama dalam novel Marriagable ini dibikin lebih natural dan girly aja sih dengan memasukan part-part contemplating or me time nya dia. Jadi semuanya gak terjadi dengan tiba-tiba. Awalnya nolak tapi tiba-tiba kawin. What the hell is going on... But over all, such an interesting book. Walaupun gak sesuai ekspektasi dan gak seseru seperti yang diceritain Citra.

No comments: