Feminisme bukanlah istilah yang asing lagi bagi kita. Sebagain besar dari kita sedikit banyak telah memahami term dari feminisme. Paham disini dapat berasal dari pemahaman secara ilmiah atau keilmuan maupun paham secara populer.
Berhubung saya adalah golongan alternatif, maka dari hasil pengamatan saya baik secara ilmiah maupun populer, feminism dimaknai sebagai perjuangan hak-hak dan kewajiban perempuan yang setara dengan laki-laki. Dimana, perempuan dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, perempuan memilki hak yang sama dengan laki-laki dalam ranah public sebagai pekerja yang dapat menjabat posisi yang sama dengan laki-laki, plus perempuan memilki hak untuk ikut berpartisipasi dalam aktivitas politik atau pemerintahan. Keterlibatan perempuan secara politik disini adalah demi mewarnai kebijakan-kebijakan yang selama ini didominasi oleh pemikiran maskulin baik dalam aspek ekonomi, politik, maupun keamanan. Jika membaca buku-buku tentang feminisme, atau menonton film-film yang berkenaan dengan feminism maka disana digambarkan bahwa feminis memandang sinis laki-laki beserta sifat-sifat dan pemikiran-pemikirannya, sehingga gak heran jika feminis anti laki-laki. Hal ini gak jarang memicu opini masyarakat dalam memandang orientasi seks para feminis ini sebagai seorang lesbian, walaupun memang sebagian feminis adalah lesbian. Tapi apakah setiap lesbian itu feminis, dan seorang feminis pasti lesbian? Tidak. Karena Feminisme dan lesbian adalah dua hal yang berbeda.
Sementara itu, sebagai seorang pengamat saya mencoba untuk memberikan sudut pandang saya dalam memaknai feminisme. Feminisme yang saya pahami adalah adanya kebanggan perempuan atas sisi feminitas dan keistimewaan perempuan yang dibawa sejak lahir. Jika pada zaman R.A. Kartini masalah pendidikan dan peran serta perempuan dalam ranah public menjadi isu utama dalam perjuangannya, maka rasanya saat ini hal tersebut dapat saya katakan sudah tidak relevan. Kenapa? Karena sebagain besar perempuan sudah dapat merasakan pendidikan setinggi-tingginya yang mereka mau dan mampu, sekaligus adanya kesempatan bagi perempuan untuk mendapatkan pekerjaan sama seperti laki-laki dan adanya kesempatan bagi para perempuan untuk turut berpartisipasi dalam aktivitas politik dan pemerintahan Negara. Dengan tidak merendahkan kaum perempuan, karena saya juga adalah perempuan, tetapi kebanyakan pemikiran feminism kini hanya terkesan adanya permusuhan pribadi atau sakit hati atau sinisme pribadi pihak perempuan terhadap laki-laki. Jika demikian, saya menganggap kaum feminis tersebut adalah kaum perempuan barisan sakit hati semata. Dan tak jarang, perempuan-perempuan yang menganggap dirinya feminis tidak begitu memahami makna feminism itu sendiri, karena mungkin mereka hanya ikut-ikutan atau ingin mendapatkan kesan “cool” jika dikenal sebagai “cewek yang hidup dengan paham feminis”.
Jika apa yang diperjuangkan para feminis-feminis tersebut adalah untuk menyamaratakan diri dengan laki-laki, pertanyaan terbesar adalah apakah mereka siap untuk menjadi laki-laki? Jika akhirnya kita para perempuan harus menyamai diri dengan laki-laki, lalu bagaimana dengan feminism itu sendiri? Bukankah feminism itu sendiri jika diartikan secara awam adalah sesuatu yang keperempuan-keperempuanan?
Apakah perempuan-perempuan yang mengakunya feminis garis keras ini bersedia untuk mencabut segala keistimewaanya sebagai perempuan jika dunia meng-approve permintaanya untuk disamakan dengan laki-laki? Contoh sepele, suatu saat dengan kondisi badan yang sangat lelah kita tidak mendapatkan bangku kosong saat di bus sementara ada seorang pria muda yang yang segar bugar tengah asik duduk santai sambil mendengarkan music dan tidak tergerak sama sekali untuk menawarkan bangkunya kepada kita? Kenapa pria itu harus memberikan bangkunya kepada kita, bukankah sesuai dengan penekanan yang diberikan para feminis, jika perempuan juga bisa sekuat laki-laki.
Lagi, jika yang dimaksud dengan perjuangan feminism untuk menyamaratakan perempuan dengan laki-laki. Apakah kita sebagai perempuan mau dilibatkan secara langsung dalam kegiatan pengamanan lingkungan rumah yang kerap dikenal dengan ronda malam atau siskamling? Sementara biasanya saat udara malam yang dingin, kita terbiasa untuk tidur dengan nyaman di kasur yang hangat dan tidak perlu merasa was-was karena ada para laki-laki yang sedang bertugas mengamankan wilayah tempat tinggal kita. Apakah kita sebagai perempuan sudah siap untuk keluar dari zona nyaman tersebut?
Andaikan, kita berada di dalam sebuah kapal pesiar mewah yang menyerupai Titanic, atau minimal seperti kapal miliki Italia yang bernasib sama seperti Titanic, Costa Concordia. Dan kapal pesiar yang kita tumpangi dengan sangat tidak beruntung, juga mengalami bencana seperti yang dialami Titanic dan Costa Concordia. Lalu pada aksi penyelamatan, yang biasanya pertama diselamatkan adalah perempuan dan anak-anak, sementara saat ini paham feminism sudah diamini semua pihak, sehingga aksi penyelamatan pertama dan utama tidak lagi mendahulukan perempuan lagi. Dan disana tidak ada lagi laki-laki yang mau mengalah atau mengorbankan keselamtannya untuk mendahulukan perempuan, sehingga laki-laki dan perempuan saling berebut tempat duduk di sekoci.
Harusnya dapat disadari bahwa secara lahiriah dan physically perempuan dan laki-laki dilahirkan dengan perbedaan dan keistimewaan masing-masing. Apa yang dianggap sebagai kelemahan perempuan, secara bersamaan merupakan privilege bagi kaum hawa.
Salah satu kritik, bagi para feminis garis keras yang secara blak-blakan menyatakan ketidakbutuhannya atas keberadaan kaum adam adalah, apakah mereka masih menginginkan anak atau mengapa mereka masih mengingingkan anak? Perempuan diciptakan dengan rahim yang sehat untuk dapat secara produktif bereproduksi. Namun, manusia tidak dapat bereproduksi layaknya cacing yang hermaphrodite atau amoeba yang dengan mudahnya membelah diri kemudian jadilah anak-anak amoeba. Manusia, yakni perempuan yang memiliki rahim membutuhkan penetrasi sperma yang berasal laki-laki. Jadi, kepemilikan anak ini adalah hasil kerjasama antara perempuan dan laki-laki. Jika pada asumsinya bahwa feminis tidak menyukai, bahkan tidak membutuhkan peran-peran yang berasal atau bersifat kelaki-lakian. Maka seks (bagi mereka yang heteroseksual), dan anak (hasil pembuahan sprema di rahim) adalah sesuatu yang haram bagi mereka para feminis. Karena dalam aktivitas seksual, untuk kepuasan biologis vagina membutuhkan penis (yang tentunya adalah property laki-laki), dan apakah dengan kejijik-an-nya terhadap laki-laki, feminis secara sukarela membiarkan rombongan sperma berbondong-bondong masuk dan berenang-renang ditubuh mereka demi berlomba-loma mencapai rahim? Bahkan, baik laki-laki maupun perempuan yang feminis kelas berat sekalipun berasal dari sperma-pemenang yang berhasil membuahi rahim. Paradoks.
Jika untuk menghindari kritik barusan maka para feminis memilih untuk menjadi lesbian, maka satu yang harus diakui bahwa manusia tidak dapat hidup sebatang kara, dan secara biologis para feminis-lesbian tetaplah membutuhkan kepuasaan seksual walaupun kali ini harus berasal dari sesamanya. Kritik saya adalah, jika memang menghindari laki-laki, kenapa dalam hubungan lesbian dikenal dengan butch* dan femme*? Bukankah berarti disana ada pembagian peran, antara yang berperan sebagai perempuan dan ‘laki-laki’.
Sebagai informasi, bahwa sebenarnya fenomena lesbian untuk kebutuhan seksual ini, atau disebut sebagai feminis-lesbian, tidak lahir dari paham feminis. Karena apa yang disebut lesbian oleh para feminis adalah untuk menggambarkan situasi politik, atau disebut lesbianism-politik, yakni penolakan para feminis saat kursi pemerintahan hanya diperuntukan laki-laki.
Mungkin kritik-kritik barusan tidak sepenuhnya tertuju pada kaum feminis dan pemikiran-pemikirannya yang terhormat, namun bagi mereka yang menganggap dirinya sebagai feminis radikal/garis keras/outstanding rasanya ada bagian-bagian yang tidak relevan dan bersifat paradox. Ada baiknya bagi pemain baru yang ingin menjadi bagian dari feminis untuk memahami terlebih dahulu makna dan tujuan dari paham feminism sendiri. Sekadar ikut-ikutan dengan tujuan mendapatkan predikat “cool” rasanya tidak akan menjadi “cool” jika tidak ada pemahamannya di dalamnya.
Secara pribadi, saya akan sangat bangga menjadi bagian dari kaum feminis, dan rasanya setiap perempuan pasti memiliki sisi emansipatorinya masing-masing sehingga every woman is a feminist. Hanya saja saya menjadi feminist dengan situasi I’m a feminist for me, karena paham feminism yang berkembang di dalam naluri dan logika saya adalah bukan lagi kritik-kritik atau perlawanan-perlawanan terhadap sifat dan produk-produk yang dihegemoni oleh laki-laki. Melainkan, adanya kebanggan saya sebagai perempuan untuk mengakui keterbatasan-keterbatasan saya sebagai perempuan, dan melihatnya sebagai sebuah keberuntungan serta hak istimewa yang tidak ada pada laki-laki.
Jika beberapa dari mereka ada yang menekankan bahwa peran perempuan hanyalah pada ranah private yakni kerap disebut dapur, sumur, kasur. Artinya mereka adalah orang-orang yang hidup di jaman pra sejarah. Beruntungnya kita sebagai produk masa kini, bahwa pendidikan dan peran serta perempuan dalam ranah public tidak lagi dibatas-batasi seperti pendahulu kita. Namun yang sangat disayangkan dari kebebasan bersekolah, berpolitik dan berkarir ini telah membawa sebagian perempuan lupa akan kewajiban dasarnya sebagai perempuan yakni untuk tetap berperan besar dalam urusan rumah tangga (yang secara kasar dikenal dengan istilah dapur, sumur, dan kasur). Mungkin inilah yang sering disebut sebagai kesalahpahaman makna feminisme. Dimana perempuan meninggalkan kodrat/tugas utamanya untuk mengejar dunia.
Disamping itu, memang tidak salah juga jika dikatakan bahwa kegiatan rumah tangga atau ranah private ini disebut sebagai produk dari mitos yang disebarkan para maskulin. Namun apa yang salah jika saat ini perempuan sudah secara bebas dapat menyentuh ranah publik layaknya laki-laki? Anggap saja, kegiatan rumah tangga tersebut adalah pembagian tugas private antara perempuan dan laki-laki. Perlu diingat, di dalam ranah private juga ada yang namanya tukang antar-jemput alias supir, tukang potong rumput, tukang cuci mobil, hingga tukang benerin genteng bocor.
Tidak bisa memasak. Tidak bisa menjahit. Tidak bisa mengurus taman. Tidak mampu mengurus rumah. Adalah tagline yang tidak jarang kita dapatkan dari perempuan-perempuan sekarang yang sibuk melakukan kegiatan diluar rumah dengan mengejar karir, pendidikan, atau sibuk bersosialisasi. Sebenarnya bukan tidak bisa, tetapi kebanyakan dari mereka tidak mau melakukan pekerjaan tersebut dan mengalihkan kegiatan-kegiatan tersebut kepada pembantu. Sehingga memasak, mencuci pakaian, menjahit, mengurus taman, dan mengurus rumah identik dengan pekerjaan babu. Ini bukanlah masalah gender, namun mitos dan kesan yang tanpa sadar dibangun sendiri oleh para perempuan untuk merendahkan kaumnya sendiri. Jika hal tersebut adalah kesalahpahaman, jadi mengapa harus malu untuk menjadi ahli masak, ahli menjahit, ahli merajut, ahli menghias taman? Bahkan saat ini banyak mereka yang laki-laki malah bangga menjadi bintang dapur, atau bekennya disebut chef.
Saat ini, jika kita menemukan diantara kita sesama perempuan yang juga berpendidikan tinggi dan berkarir, pandai memasak, lihai dalam megurus rumah dan mencuci pakaian, gemar menjahit dan menghias taman, serta pintar mengurus anak, tak ayal perempuan tersebut mendapat decakan sebagai “perempuan banget”. Dari kacamata saya, perempuan dengan predikat “perempuan banget” tersebut adalah the truly feminist. Karena ditengah-tengah huru-hara perebutan kekuasaan (power) antara maskulin dan feminis di ranah politik/publik, serta kebanyakan kaumnya (perempuan) telah meninggalkan keahlian-keahlian perempuan (memasak, menjahit, etc), sang “perempuan banget” ini tetap berdiri dan bertahan dengan sisi keperempuanannya. Karena apakah pada prakteknya memasak dan menjahit adalah sesuatu yang menghalangi kita sebagai perempuan untuk berkarya, berpendapat, bahkan memimpin dunia?
Dengan tidak menyinggung pihak manapun, ini hanyalah pendapat saya pribadi yang bermunculan setelah mengamati fenomena yang terjadi disekitar saya. Jika, paham feminism hanya dimaknai pada kedudukan perempuan atas laki-laki, atau penguasaan perempuan atas laki-laki, atau power yang dimilki perempuan atas laki-laki, maka tidak ada bedanya dengan aksi balas dendam perempuan atas laki-laki yang pada akhirnya memberikan posisi kepada perempuan yang tadinya dimiliki oleh laki-laki. Simply, perempuan sama dengan laki-laki. Dengan demikian, hilanglah rasa yang istimewa dari seorang perempuan. Lelaki dan perempuan dari akarnya sudah dibuat berbeda, rasanya gak ada gunanya kita mengejar kesetaraan agar dipandang sebagai laki-laki. Apalagi mencanangkan peperangan terhadap laki-laki. Mengingat, perang adalah ide dari para maskulin dan sangat dikutuk oleh para feminis jadi buat apa kita menjalakan ide yang berasal dari maskulin? Bukan person-nya yang patut kita kecam, melainkan ideas dan kebijakan-kebijakan para maskulinlah yang sebaiknya kita imbangi dan bukan dengan cara ‘perang’. Mars and venus are born to be different, but they need each other to survive.
Well, yang menjadi akar masalah antara perempuan dan laki-laki adalah bahwa tidak ada diantara mereka yang mau berada dibawah kekuasan yang lain. Bukanlah hal yang mudah bagi para perempuan untuk memutar keadaan tatanan dunia yang sudah terlanjur berjalan dengan dominasi maskulin, namun juga bukan hal yang tidak mungkin untuk merubahnya. Dengan tanpa meninggalkan sebuah rasa sebagai perempuan yang bangga atas setiap detail-detail keperempuanannya, dengan cara kita sendiri yang sangat membedakan diri kita dari laki-laki, kita dapat memimpin dunia dengan cara yang sangat perempuan. Bahkan, seorang laki-laki pun dilahirkan oleh seorang perempuan. Don't mind about power. Who’s the boss of the boss, then?
Berhubung saya adalah golongan alternatif, maka dari hasil pengamatan saya baik secara ilmiah maupun populer, feminism dimaknai sebagai perjuangan hak-hak dan kewajiban perempuan yang setara dengan laki-laki. Dimana, perempuan dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, perempuan memilki hak yang sama dengan laki-laki dalam ranah public sebagai pekerja yang dapat menjabat posisi yang sama dengan laki-laki, plus perempuan memilki hak untuk ikut berpartisipasi dalam aktivitas politik atau pemerintahan. Keterlibatan perempuan secara politik disini adalah demi mewarnai kebijakan-kebijakan yang selama ini didominasi oleh pemikiran maskulin baik dalam aspek ekonomi, politik, maupun keamanan. Jika membaca buku-buku tentang feminisme, atau menonton film-film yang berkenaan dengan feminism maka disana digambarkan bahwa feminis memandang sinis laki-laki beserta sifat-sifat dan pemikiran-pemikirannya, sehingga gak heran jika feminis anti laki-laki. Hal ini gak jarang memicu opini masyarakat dalam memandang orientasi seks para feminis ini sebagai seorang lesbian, walaupun memang sebagian feminis adalah lesbian. Tapi apakah setiap lesbian itu feminis, dan seorang feminis pasti lesbian? Tidak. Karena Feminisme dan lesbian adalah dua hal yang berbeda.
Sementara itu, sebagai seorang pengamat saya mencoba untuk memberikan sudut pandang saya dalam memaknai feminisme. Feminisme yang saya pahami adalah adanya kebanggan perempuan atas sisi feminitas dan keistimewaan perempuan yang dibawa sejak lahir. Jika pada zaman R.A. Kartini masalah pendidikan dan peran serta perempuan dalam ranah public menjadi isu utama dalam perjuangannya, maka rasanya saat ini hal tersebut dapat saya katakan sudah tidak relevan. Kenapa? Karena sebagain besar perempuan sudah dapat merasakan pendidikan setinggi-tingginya yang mereka mau dan mampu, sekaligus adanya kesempatan bagi perempuan untuk mendapatkan pekerjaan sama seperti laki-laki dan adanya kesempatan bagi para perempuan untuk turut berpartisipasi dalam aktivitas politik dan pemerintahan Negara. Dengan tidak merendahkan kaum perempuan, karena saya juga adalah perempuan, tetapi kebanyakan pemikiran feminism kini hanya terkesan adanya permusuhan pribadi atau sakit hati atau sinisme pribadi pihak perempuan terhadap laki-laki. Jika demikian, saya menganggap kaum feminis tersebut adalah kaum perempuan barisan sakit hati semata. Dan tak jarang, perempuan-perempuan yang menganggap dirinya feminis tidak begitu memahami makna feminism itu sendiri, karena mungkin mereka hanya ikut-ikutan atau ingin mendapatkan kesan “cool” jika dikenal sebagai “cewek yang hidup dengan paham feminis”.
Jika apa yang diperjuangkan para feminis-feminis tersebut adalah untuk menyamaratakan diri dengan laki-laki, pertanyaan terbesar adalah apakah mereka siap untuk menjadi laki-laki? Jika akhirnya kita para perempuan harus menyamai diri dengan laki-laki, lalu bagaimana dengan feminism itu sendiri? Bukankah feminism itu sendiri jika diartikan secara awam adalah sesuatu yang keperempuan-keperempuanan?
Apakah perempuan-perempuan yang mengakunya feminis garis keras ini bersedia untuk mencabut segala keistimewaanya sebagai perempuan jika dunia meng-approve permintaanya untuk disamakan dengan laki-laki? Contoh sepele, suatu saat dengan kondisi badan yang sangat lelah kita tidak mendapatkan bangku kosong saat di bus sementara ada seorang pria muda yang yang segar bugar tengah asik duduk santai sambil mendengarkan music dan tidak tergerak sama sekali untuk menawarkan bangkunya kepada kita? Kenapa pria itu harus memberikan bangkunya kepada kita, bukankah sesuai dengan penekanan yang diberikan para feminis, jika perempuan juga bisa sekuat laki-laki.
Lagi, jika yang dimaksud dengan perjuangan feminism untuk menyamaratakan perempuan dengan laki-laki. Apakah kita sebagai perempuan mau dilibatkan secara langsung dalam kegiatan pengamanan lingkungan rumah yang kerap dikenal dengan ronda malam atau siskamling? Sementara biasanya saat udara malam yang dingin, kita terbiasa untuk tidur dengan nyaman di kasur yang hangat dan tidak perlu merasa was-was karena ada para laki-laki yang sedang bertugas mengamankan wilayah tempat tinggal kita. Apakah kita sebagai perempuan sudah siap untuk keluar dari zona nyaman tersebut?
Andaikan, kita berada di dalam sebuah kapal pesiar mewah yang menyerupai Titanic, atau minimal seperti kapal miliki Italia yang bernasib sama seperti Titanic, Costa Concordia. Dan kapal pesiar yang kita tumpangi dengan sangat tidak beruntung, juga mengalami bencana seperti yang dialami Titanic dan Costa Concordia. Lalu pada aksi penyelamatan, yang biasanya pertama diselamatkan adalah perempuan dan anak-anak, sementara saat ini paham feminism sudah diamini semua pihak, sehingga aksi penyelamatan pertama dan utama tidak lagi mendahulukan perempuan lagi. Dan disana tidak ada lagi laki-laki yang mau mengalah atau mengorbankan keselamtannya untuk mendahulukan perempuan, sehingga laki-laki dan perempuan saling berebut tempat duduk di sekoci.
Harusnya dapat disadari bahwa secara lahiriah dan physically perempuan dan laki-laki dilahirkan dengan perbedaan dan keistimewaan masing-masing. Apa yang dianggap sebagai kelemahan perempuan, secara bersamaan merupakan privilege bagi kaum hawa.
Salah satu kritik, bagi para feminis garis keras yang secara blak-blakan menyatakan ketidakbutuhannya atas keberadaan kaum adam adalah, apakah mereka masih menginginkan anak atau mengapa mereka masih mengingingkan anak? Perempuan diciptakan dengan rahim yang sehat untuk dapat secara produktif bereproduksi. Namun, manusia tidak dapat bereproduksi layaknya cacing yang hermaphrodite atau amoeba yang dengan mudahnya membelah diri kemudian jadilah anak-anak amoeba. Manusia, yakni perempuan yang memiliki rahim membutuhkan penetrasi sperma yang berasal laki-laki. Jadi, kepemilikan anak ini adalah hasil kerjasama antara perempuan dan laki-laki. Jika pada asumsinya bahwa feminis tidak menyukai, bahkan tidak membutuhkan peran-peran yang berasal atau bersifat kelaki-lakian. Maka seks (bagi mereka yang heteroseksual), dan anak (hasil pembuahan sprema di rahim) adalah sesuatu yang haram bagi mereka para feminis. Karena dalam aktivitas seksual, untuk kepuasan biologis vagina membutuhkan penis (yang tentunya adalah property laki-laki), dan apakah dengan kejijik-an-nya terhadap laki-laki, feminis secara sukarela membiarkan rombongan sperma berbondong-bondong masuk dan berenang-renang ditubuh mereka demi berlomba-loma mencapai rahim? Bahkan, baik laki-laki maupun perempuan yang feminis kelas berat sekalipun berasal dari sperma-pemenang yang berhasil membuahi rahim. Paradoks.
Jika untuk menghindari kritik barusan maka para feminis memilih untuk menjadi lesbian, maka satu yang harus diakui bahwa manusia tidak dapat hidup sebatang kara, dan secara biologis para feminis-lesbian tetaplah membutuhkan kepuasaan seksual walaupun kali ini harus berasal dari sesamanya. Kritik saya adalah, jika memang menghindari laki-laki, kenapa dalam hubungan lesbian dikenal dengan butch* dan femme*? Bukankah berarti disana ada pembagian peran, antara yang berperan sebagai perempuan dan ‘laki-laki’.
Sebagai informasi, bahwa sebenarnya fenomena lesbian untuk kebutuhan seksual ini, atau disebut sebagai feminis-lesbian, tidak lahir dari paham feminis. Karena apa yang disebut lesbian oleh para feminis adalah untuk menggambarkan situasi politik, atau disebut lesbianism-politik, yakni penolakan para feminis saat kursi pemerintahan hanya diperuntukan laki-laki.
Mungkin kritik-kritik barusan tidak sepenuhnya tertuju pada kaum feminis dan pemikiran-pemikirannya yang terhormat, namun bagi mereka yang menganggap dirinya sebagai feminis radikal/garis keras/outstanding rasanya ada bagian-bagian yang tidak relevan dan bersifat paradox. Ada baiknya bagi pemain baru yang ingin menjadi bagian dari feminis untuk memahami terlebih dahulu makna dan tujuan dari paham feminism sendiri. Sekadar ikut-ikutan dengan tujuan mendapatkan predikat “cool” rasanya tidak akan menjadi “cool” jika tidak ada pemahamannya di dalamnya.
Secara pribadi, saya akan sangat bangga menjadi bagian dari kaum feminis, dan rasanya setiap perempuan pasti memiliki sisi emansipatorinya masing-masing sehingga every woman is a feminist. Hanya saja saya menjadi feminist dengan situasi I’m a feminist for me, karena paham feminism yang berkembang di dalam naluri dan logika saya adalah bukan lagi kritik-kritik atau perlawanan-perlawanan terhadap sifat dan produk-produk yang dihegemoni oleh laki-laki. Melainkan, adanya kebanggan saya sebagai perempuan untuk mengakui keterbatasan-keterbatasan saya sebagai perempuan, dan melihatnya sebagai sebuah keberuntungan serta hak istimewa yang tidak ada pada laki-laki.
Jika beberapa dari mereka ada yang menekankan bahwa peran perempuan hanyalah pada ranah private yakni kerap disebut dapur, sumur, kasur. Artinya mereka adalah orang-orang yang hidup di jaman pra sejarah. Beruntungnya kita sebagai produk masa kini, bahwa pendidikan dan peran serta perempuan dalam ranah public tidak lagi dibatas-batasi seperti pendahulu kita. Namun yang sangat disayangkan dari kebebasan bersekolah, berpolitik dan berkarir ini telah membawa sebagian perempuan lupa akan kewajiban dasarnya sebagai perempuan yakni untuk tetap berperan besar dalam urusan rumah tangga (yang secara kasar dikenal dengan istilah dapur, sumur, dan kasur). Mungkin inilah yang sering disebut sebagai kesalahpahaman makna feminisme. Dimana perempuan meninggalkan kodrat/tugas utamanya untuk mengejar dunia.
Disamping itu, memang tidak salah juga jika dikatakan bahwa kegiatan rumah tangga atau ranah private ini disebut sebagai produk dari mitos yang disebarkan para maskulin. Namun apa yang salah jika saat ini perempuan sudah secara bebas dapat menyentuh ranah publik layaknya laki-laki? Anggap saja, kegiatan rumah tangga tersebut adalah pembagian tugas private antara perempuan dan laki-laki. Perlu diingat, di dalam ranah private juga ada yang namanya tukang antar-jemput alias supir, tukang potong rumput, tukang cuci mobil, hingga tukang benerin genteng bocor.
Tidak bisa memasak. Tidak bisa menjahit. Tidak bisa mengurus taman. Tidak mampu mengurus rumah. Adalah tagline yang tidak jarang kita dapatkan dari perempuan-perempuan sekarang yang sibuk melakukan kegiatan diluar rumah dengan mengejar karir, pendidikan, atau sibuk bersosialisasi. Sebenarnya bukan tidak bisa, tetapi kebanyakan dari mereka tidak mau melakukan pekerjaan tersebut dan mengalihkan kegiatan-kegiatan tersebut kepada pembantu. Sehingga memasak, mencuci pakaian, menjahit, mengurus taman, dan mengurus rumah identik dengan pekerjaan babu. Ini bukanlah masalah gender, namun mitos dan kesan yang tanpa sadar dibangun sendiri oleh para perempuan untuk merendahkan kaumnya sendiri. Jika hal tersebut adalah kesalahpahaman, jadi mengapa harus malu untuk menjadi ahli masak, ahli menjahit, ahli merajut, ahli menghias taman? Bahkan saat ini banyak mereka yang laki-laki malah bangga menjadi bintang dapur, atau bekennya disebut chef.
Saat ini, jika kita menemukan diantara kita sesama perempuan yang juga berpendidikan tinggi dan berkarir, pandai memasak, lihai dalam megurus rumah dan mencuci pakaian, gemar menjahit dan menghias taman, serta pintar mengurus anak, tak ayal perempuan tersebut mendapat decakan sebagai “perempuan banget”. Dari kacamata saya, perempuan dengan predikat “perempuan banget” tersebut adalah the truly feminist. Karena ditengah-tengah huru-hara perebutan kekuasaan (power) antara maskulin dan feminis di ranah politik/publik, serta kebanyakan kaumnya (perempuan) telah meninggalkan keahlian-keahlian perempuan (memasak, menjahit, etc), sang “perempuan banget” ini tetap berdiri dan bertahan dengan sisi keperempuanannya. Karena apakah pada prakteknya memasak dan menjahit adalah sesuatu yang menghalangi kita sebagai perempuan untuk berkarya, berpendapat, bahkan memimpin dunia?
Dengan tidak menyinggung pihak manapun, ini hanyalah pendapat saya pribadi yang bermunculan setelah mengamati fenomena yang terjadi disekitar saya. Jika, paham feminism hanya dimaknai pada kedudukan perempuan atas laki-laki, atau penguasaan perempuan atas laki-laki, atau power yang dimilki perempuan atas laki-laki, maka tidak ada bedanya dengan aksi balas dendam perempuan atas laki-laki yang pada akhirnya memberikan posisi kepada perempuan yang tadinya dimiliki oleh laki-laki. Simply, perempuan sama dengan laki-laki. Dengan demikian, hilanglah rasa yang istimewa dari seorang perempuan. Lelaki dan perempuan dari akarnya sudah dibuat berbeda, rasanya gak ada gunanya kita mengejar kesetaraan agar dipandang sebagai laki-laki. Apalagi mencanangkan peperangan terhadap laki-laki. Mengingat, perang adalah ide dari para maskulin dan sangat dikutuk oleh para feminis jadi buat apa kita menjalakan ide yang berasal dari maskulin? Bukan person-nya yang patut kita kecam, melainkan ideas dan kebijakan-kebijakan para maskulinlah yang sebaiknya kita imbangi dan bukan dengan cara ‘perang’. Mars and venus are born to be different, but they need each other to survive.
Well, yang menjadi akar masalah antara perempuan dan laki-laki adalah bahwa tidak ada diantara mereka yang mau berada dibawah kekuasan yang lain. Bukanlah hal yang mudah bagi para perempuan untuk memutar keadaan tatanan dunia yang sudah terlanjur berjalan dengan dominasi maskulin, namun juga bukan hal yang tidak mungkin untuk merubahnya. Dengan tanpa meninggalkan sebuah rasa sebagai perempuan yang bangga atas setiap detail-detail keperempuanannya, dengan cara kita sendiri yang sangat membedakan diri kita dari laki-laki, kita dapat memimpin dunia dengan cara yang sangat perempuan. Bahkan, seorang laki-laki pun dilahirkan oleh seorang perempuan. Don't mind about power. Who’s the boss of the boss, then?
Words of fame:
*Butch adalah sebutan bagi kaum perempuan yang berperang sebagai ‘laki-laki’ dalam hubungan seksual lesbian, sedangkan *femme adalah sebutan bagi pasangannya yang berperan sebagai perempuan.
No comments:
Post a Comment