Tuesday, October 11, 2011

Passion, I mean it.

Mungkin memang seharusnya saya adalah seorang penulis. No no. Maksud saya, masing-masing dari kita adalah terlahir sebagai penulis. Semua orang memilki bakat menulis. Belum percaya? Coba intip profile facebook atau timeline di twitter anda.

Betapa mengejutkannya saat kita baca lagi kata-kata yang tertera di sana. Ternyata kita adalah seorang jenius dalam kata-kata. Dapat saya pastikan, untuk mengupdate atau menceritakan sesuatu yang kemudian hendak di posting ke status facebook atau twitter sebagian dari kita pasti berusaha dan berpikir keras kata-kata apa yang sebaiknya digunakan agar tulisan anda nampak semenarik mungkin. Tanpa kita sadari itu merupakan potensi dan sisi kreatif yang ada di dalam diri kita.

Cukup dengan potensi menulis, kemudian apakah semua tulisan dapat dikatakan sebagai sebuah bacaan yang bermutu? I will not judge. Karena masing-masing orang memiliki ketertarikan yang berbeda. Ada orang-orang yang sangat tertarik dengan politik, science, fisika, ilmu kesehatan, tekhnik, ataupun filsafat sehingga apa yang mereka tulis biasanya hanya akan dimengerti oleh pembaca yang juga berasal dari kalangan tersebut karena penggunaan bahasa atau istilah-istilah tertentu. Sementara ada penulis dengan gaya pop, yang menulis tentang peristiwa atau pengetahuan populer yang dapat dimengerti oleh berbagai kalangan pembaca. Jadi, anda termasuk yang mana?

Sejak saya masih kecil, bahkan baru pertama kali dapat menuliskan abjad latin. Ayah saya sudah mengarahkan agar saya gemar menulis. Menulis tentang apa saja. Tidak penting panjang atau pendeknya tulisan yang saya buat, yang terpenting adalah maksud dari tulisan dan isinya dapat tersampaikan kepada yang membaca. Anak kecil hidup tanpa pilihan ya rasanya, jadi apa kata orang tua selalu kita anggap benar saat itu. Dan, tidak heran kalau sampai kelas empat sekolah dasar yang menjadi hobi utama saya adalah menulis. Saya tidak pernah kesulitan dalam pelajaran Bahasa Indonesia, khususnya mengarang. Bahkan mengarang adalah pelajaran yang paling saya nantikan saat di sekolah. Tanpa babibu mencari inspirasi, saya dapat mengerjakan perintah guru dengan sangat kilat dan rapi. Selain itu, ada beberapa karya yang sempat saya luncurkan yakni berupa puisi dan cerita pendek. Sederhana memang, hanya bertema tentang alam, tanaman, sawah, petani atau nelayan. Tapi untuk ukuran anak sebesar saya saat itu sudah merupakan keberanian dan prestasi tersendiri. Tapi harap dicatat, bukan berarti saya termasuk penulis diary ya, hehe..

Umur semakin bertambah, tinggi saya bertambah, berat badan saya pun bertambah, teman-teman saya bertambah, dan cerita pun bertambah. Ternyata saya bosan dengan menulis. Saya ingin mencoba sesuatu yang lain. Sesuatu yang juga dikerjakan teman-teman seumuran saya. Saya ingin mencoba menari. Hahaha. Guess what? Saya lupa dengan menulis. Sampai pada akhirnya ada kesadaran yang mengetuk pintu hati saya untuk mencobanya lagi. Saat Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas, saya tidak pernah berhenti mencoba mengirimkan karya cerita pendek saya ke majalah-majalah remaja ataupun mengikutsertakannya ke lomba-lomba. Namun ternyata saya sama sekali tidak menggenggam koin keberuntungan, jadi kertas-kertas yang saya kirimkan hanya menjadi gulungan sampah bagi redaksi majalah atau juri perlombaan menulis tersebut. 

Patah semangat? Jelas. Yang ada dipikiran saya hanyalah: Ya, mungkin saya tidak berbakat, dan saya sangat benci dengan karya-karya saya yang akhirnya saya musnahkan filenya. Harapan saya, jangan sampai saya membacanya lagi, bahkan orang lain yang membaca. Tidak!

Dari patah semangat, munculah rasa minder. Karena pada kenyataannya menulis sudah mendarah daging dalam diri saya, so I can’t stop writing. Saya tetap pada kebiasaan saya, menulis. Apapun. Tapi dengan harapan jangan ada yang membacanya. Jadi saya menulis diam-diam dan menyimpannya rapi ke dalam sebuah file rahasia. Bhakan terkadang saya menulis, kemudian menghapusnya kembali. Tidak penting tentang koleksi, yang penting segala yang ada di otak saya sudah dapat tersalurkan ke dalam sebuah tulisan. Tidak penting juga adana sebuah karya, yang terpenting saya dapat bebas menulis.

Sekarang yang saya alami adalah sebuah penyesalan, jelek dan buruknya sebuah tulisan, itu tetap merupakan jerih payah dan hasil pemikiran saya. Yang murni datanganya dari otak saya yang pas-pasan. Dan harusnya biarkan saja menjadi sebuah bukti dan koleksi betapa saya sangat cinta dunia menulis. Apakah sudah terlambat untuk memulai semuanya lagi dari awal? Rasanya tidak. Setelah melalui proses metamorfosis idealisme, saya mendapati pencapaian yang ingin saya raih dari menulis bukanlah dalam bentuk uang atau kepopuleran, melainkan sebuah bentuk penggalian potensi diri. Karena menulis adalah berlatih. Jika sekarang anda merasa sudah di posisi advance atau pro dalam menulis, coba intip kembali hasil tulisan anda beberapa tahun yang lalu. Lucu bukan? Dan betapa mengejutkannya peningkatan yang anda alami hingga saat ini. Namun idealisme hanyalah sebuah isme yang kita anggap ideal saat ini, jika nanti prinsip saya sudah berubah, ya anggap saja uang dan kepopuleran itu adalah sebuah bonus. Well, I love money.

No comments: