Tuesday, October 11, 2011

ANJING!


Bukan, bukan. Barusan bukanlah sebuah umpatan kasar yang saya lontarkan. Tapi anjing, cukup anjing, titik. Iya, binatang berkaki empat dengan bulu disekujur tubuhnya dan dikenal sebagai sahabat manusia.

Ellis, adalah nama seekor anjing jenis Golden Retriever milik tetangga di lingkungan tempat saya tinggal. Malam ini, saat saya berjalan menuju rumah kost, saya melihat Ellis sedang berdiri sejarak satu jengkal dari pagar rumah milik majikannya. Kelihatannya Ellis seperti sedang menunggu kedatangan seseorang. Dan yang membuat agak dramatis, Ellis dengan wajah yang murung menunggu dibawah rintik hujan. Poor Ellis…

Memang kebiasaan saya menegur Ellis setiap melewati rumah dimana Ellis dipelihara. Dan, selalu. Ellis nampak tidak ceria, sendirian, dan kesepian. Kasihan Ellis, karena untuk jenis anjing Golden Retriever, Ellis seharusnya nampak ceria dan antusias setiap bertemu manusia. Seperti informasi yang saya dapatkan dari blog yang beralamat di http://doggies-ryodesc.blogspot.com/ dituliskan bahwa:
“Bersahabat, dapat dipercaya dan diandalkan. Sikap bermusuhan atau tidak ramah terhadap anjing atau orang asing dalam situasi normal, atau tanpa sebab yang jelas menunjukkan ketakutan atau kecemasan, bukanlah sifat Golden Retriever. Sikap demikian harus dipenalti sesuai tingkat keseriusannya. Golden Retriever adalah anjing yang bersahabat, penuh kasih sayang dan sangat setia kepada pemilik dan keluarganya. Cerdas, mudah dilatih dan selalu ceria, sehingga mudah berkawan dengan binatang peliharaan yang lain. Trah yang mencintai anak-anak ini tidak akan marah meskipun kita melakukan provokasi kepadanya. Dia selalu hanya ingin menyenangkan kita dan memberikan keceriaan di dalam keluarga kita. Golden Retriever pada umumnya juga tidak agresif terhadap anjing asing. Bila terjadi sebaliknya, kebanyakan justru karena kegembiraannya yang berlebihan bertemu dengan teman bermain yang baru. Namun hal itu dapat dengan mudah dikontrol, yaitu dengan latihan yang terprogram. Dengan temperamen yang demikian, meskipun seekor Golden Retriever akan memberikan peringatan bila ada orang / mahluk asing, jangan sekali-kali mengharapkan Golden Retriever sebagai anjing penjaga. Bila anda menginginkan anjing penjaga, carilah trah lain.

Buddy, siapa yang tidak kenal Buddy? Karakter anjing ceria dan dinamis dalam film tahun 1997 yang berjudul Air Bud. Dalam film tersebut, Buddy, seekor anjing jenis Golden Retriver digambarkan sebagai jenis anjing yang bersahabat, ceria, tidak bisa diam, menyenangkan, dan sangat menyukai manusia. Dan memang begitulah seharusnya pembawaan seekor anjing dengan jenis Golden Retriver ini. Namun tidak dengan Ellis. Biasanya sikap murung seekor peliharan juga dipengaruhi oleh perlakuan sang pemilik dan lingkungan dimana ia tinggal. Tapi disini saya tidak ingin menghakimi bagaimana sang pemilik memperlakukan Ellis. Saya hanya sangat menyayangkan, anjing dengan penampilan yang glamorous serta sifat yang sangat bersahabat dengan manusia, hanya dipelihara sebatas menjadi penjaga rumah.

Melihat Ellis barusan, saya sangat berempati dan jadi berpikir. Betapa seekor binatang, pun yang dipelihara, tetaplah memliki perasaan. Mereka juga membutuhkan teman dan perhatian. Dapat kalian bayangkan? Jika malam datang, dan kebetulan sedang hujan, seekor Ellis hanya berbaring sendirian di garasi dan memasang radar waspadanya karena tugasnya sebagai anjing penjaga. Sementara kita sebagai manusia dengan nyamannya berbaring diatas kasur yang empuk dan berbalut bedcover untuk menghindari angin malam yang dingin. Jadi rasanya wajar saja jika Ellis yang selalu sendiri terlihat murung dan tidak seceria anjing Golden Retriver lainnya.

Kisah Ellis bukanlah pemandangan yang pertama bagi saya untuk kasus: anjing yang kesepian. Beberapa bulan yang lalu, saat saya masih tinggal di rumah kost terdahulu, juga saya temukan seekor anjing jenis Labrador bernama Bruno yang singgah dipekarangan rumah kost saya. Anjing jenis Labrador serta sifat alaminya dapat kalian lihat pada film berjudul Marley and Me yang juga diperankan oleh Jenifer Aniston yang memerankan karakter sebagai pemilik Marley. Jika kalian lihat Marley (si anjing) di film tersebut, mungkin agak mengesalkan karena energinya yang berlebihan sehingga anjing jenis ini sangatlah kelewatan lincah. Sayangnya, Bruno, anjing lincah jenis Labrador ini selalu dibiarkan di dalam kandang layaknya hewan pajangan, bukannya peliharaan. Dan tentunya miris, karena sangat berlawanan dengan sifat alaminya yang enerjik. Maka tidak heran jika Bruno-yang-selalu-di-kandang selalu berusaha menarik perhatian setiap orang yang melewati kandangnya dengan melompat-lompat sambil menggonggong. Saya mungkin salah satu favorit Bruno karena tanpa diminta pun saya tidak pernah lupa menyapa Bruno setiap melewati kandangnya. Sangat disayangkan, karena sang pemilik adalah mahasiswa yang juga pengusaha sangatlah sibuk keterlaluan sehingga perhatian dan waktu bermain yang diberikan ke Bruno sangatlah minim.


Untuk apa memelihara seekor anjing sebenanrya jika hanya ditinggal, dikurung di kandang atau dibiarkan di halaman rumah, tidak pernah diajak bermain atau jalan-jalan, bahkan tidak pernah ada kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama? Bukankah esensi dari memlihara seekor binatang adalah untuk menjalin ikatan emosi antara sang pemilik dan hewan peliharaan? Mungkin ada baiknya untuk tidak menganggap mereka sebagai peliharaan, namun anggaplah mereka sebagai sahabat. Mungkin sikap saya agak berlebihan , tapi… mengambil keputusan untuk memelihara seekor anjing berarti memutuskan untuk menambah satu tanggung jawab kita. Apalagi, anjing juga merupakan makhluk bernyawa, sudah dapat dipastikan mereka pasti memiliki rasa. 

Jadi ada baiknya untuk yang tertarik memelihara seekor anjing, pelajari dahulu sifat-sifat dari setiap trah anjing, agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan, apakah untuk dijadikan teman atau sekadar penjaga rumah. Karena, anjing juga berhak atas kasih sayang pemiliknya.

:)

Passion, I mean it.

Mungkin memang seharusnya saya adalah seorang penulis. No no. Maksud saya, masing-masing dari kita adalah terlahir sebagai penulis. Semua orang memilki bakat menulis. Belum percaya? Coba intip profile facebook atau timeline di twitter anda.

Betapa mengejutkannya saat kita baca lagi kata-kata yang tertera di sana. Ternyata kita adalah seorang jenius dalam kata-kata. Dapat saya pastikan, untuk mengupdate atau menceritakan sesuatu yang kemudian hendak di posting ke status facebook atau twitter sebagian dari kita pasti berusaha dan berpikir keras kata-kata apa yang sebaiknya digunakan agar tulisan anda nampak semenarik mungkin. Tanpa kita sadari itu merupakan potensi dan sisi kreatif yang ada di dalam diri kita.

Cukup dengan potensi menulis, kemudian apakah semua tulisan dapat dikatakan sebagai sebuah bacaan yang bermutu? I will not judge. Karena masing-masing orang memiliki ketertarikan yang berbeda. Ada orang-orang yang sangat tertarik dengan politik, science, fisika, ilmu kesehatan, tekhnik, ataupun filsafat sehingga apa yang mereka tulis biasanya hanya akan dimengerti oleh pembaca yang juga berasal dari kalangan tersebut karena penggunaan bahasa atau istilah-istilah tertentu. Sementara ada penulis dengan gaya pop, yang menulis tentang peristiwa atau pengetahuan populer yang dapat dimengerti oleh berbagai kalangan pembaca. Jadi, anda termasuk yang mana?

Sejak saya masih kecil, bahkan baru pertama kali dapat menuliskan abjad latin. Ayah saya sudah mengarahkan agar saya gemar menulis. Menulis tentang apa saja. Tidak penting panjang atau pendeknya tulisan yang saya buat, yang terpenting adalah maksud dari tulisan dan isinya dapat tersampaikan kepada yang membaca. Anak kecil hidup tanpa pilihan ya rasanya, jadi apa kata orang tua selalu kita anggap benar saat itu. Dan, tidak heran kalau sampai kelas empat sekolah dasar yang menjadi hobi utama saya adalah menulis. Saya tidak pernah kesulitan dalam pelajaran Bahasa Indonesia, khususnya mengarang. Bahkan mengarang adalah pelajaran yang paling saya nantikan saat di sekolah. Tanpa babibu mencari inspirasi, saya dapat mengerjakan perintah guru dengan sangat kilat dan rapi. Selain itu, ada beberapa karya yang sempat saya luncurkan yakni berupa puisi dan cerita pendek. Sederhana memang, hanya bertema tentang alam, tanaman, sawah, petani atau nelayan. Tapi untuk ukuran anak sebesar saya saat itu sudah merupakan keberanian dan prestasi tersendiri. Tapi harap dicatat, bukan berarti saya termasuk penulis diary ya, hehe..

Umur semakin bertambah, tinggi saya bertambah, berat badan saya pun bertambah, teman-teman saya bertambah, dan cerita pun bertambah. Ternyata saya bosan dengan menulis. Saya ingin mencoba sesuatu yang lain. Sesuatu yang juga dikerjakan teman-teman seumuran saya. Saya ingin mencoba menari. Hahaha. Guess what? Saya lupa dengan menulis. Sampai pada akhirnya ada kesadaran yang mengetuk pintu hati saya untuk mencobanya lagi. Saat Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas, saya tidak pernah berhenti mencoba mengirimkan karya cerita pendek saya ke majalah-majalah remaja ataupun mengikutsertakannya ke lomba-lomba. Namun ternyata saya sama sekali tidak menggenggam koin keberuntungan, jadi kertas-kertas yang saya kirimkan hanya menjadi gulungan sampah bagi redaksi majalah atau juri perlombaan menulis tersebut. 

Patah semangat? Jelas. Yang ada dipikiran saya hanyalah: Ya, mungkin saya tidak berbakat, dan saya sangat benci dengan karya-karya saya yang akhirnya saya musnahkan filenya. Harapan saya, jangan sampai saya membacanya lagi, bahkan orang lain yang membaca. Tidak!

Dari patah semangat, munculah rasa minder. Karena pada kenyataannya menulis sudah mendarah daging dalam diri saya, so I can’t stop writing. Saya tetap pada kebiasaan saya, menulis. Apapun. Tapi dengan harapan jangan ada yang membacanya. Jadi saya menulis diam-diam dan menyimpannya rapi ke dalam sebuah file rahasia. Bhakan terkadang saya menulis, kemudian menghapusnya kembali. Tidak penting tentang koleksi, yang penting segala yang ada di otak saya sudah dapat tersalurkan ke dalam sebuah tulisan. Tidak penting juga adana sebuah karya, yang terpenting saya dapat bebas menulis.

Sekarang yang saya alami adalah sebuah penyesalan, jelek dan buruknya sebuah tulisan, itu tetap merupakan jerih payah dan hasil pemikiran saya. Yang murni datanganya dari otak saya yang pas-pasan. Dan harusnya biarkan saja menjadi sebuah bukti dan koleksi betapa saya sangat cinta dunia menulis. Apakah sudah terlambat untuk memulai semuanya lagi dari awal? Rasanya tidak. Setelah melalui proses metamorfosis idealisme, saya mendapati pencapaian yang ingin saya raih dari menulis bukanlah dalam bentuk uang atau kepopuleran, melainkan sebuah bentuk penggalian potensi diri. Karena menulis adalah berlatih. Jika sekarang anda merasa sudah di posisi advance atau pro dalam menulis, coba intip kembali hasil tulisan anda beberapa tahun yang lalu. Lucu bukan? Dan betapa mengejutkannya peningkatan yang anda alami hingga saat ini. Namun idealisme hanyalah sebuah isme yang kita anggap ideal saat ini, jika nanti prinsip saya sudah berubah, ya anggap saja uang dan kepopuleran itu adalah sebuah bonus. Well, I love money.